Anggota "jihad" individu belajar merakit bom lewat internet. Hubungan sesama sel terputus.
Teror bom kembali mengganas. Dalam sebulan ini kita dikagetkan sejumlah aksi serta rencana pemboman. Misalnya, ada aksi bom buku, Maret lalu. Pekan lalu, aksi bom bunuh diri di mesjid Mapolresta Cirebon. Tak hanya itu, Kamis 21 April 2011 lalu polisi membongkar rencana pemboman di wilayah Gading Serpong, Tangerang.
Tak terbayangkan jika bom berbobot hampir 180 kg yang ditanam di gorong-gorong dekat gereja serta saluran pipa gas itu meledak. Diperkirakan ledakannya lebih hebat dari bom Bali. Korbannya bakal banyak, karena menyulut pipa gas, dan menghantam gereja pada saat ribuan jemaat menghadiri perayaan Paskah Jumat Agung di gereja Christ Catedral.
Frekuensi aksinya pun kian meningkat. Aksi sebelumnya, yang dilakukan kelompok Noordin M.Top misalnya, biasanya berlangsung setahun sekali. Tapi kini dalam sebulan hampir terjadi tiga kali. Siapakah pelakunya?
Sidney Jones, penasihat senior ICG (International Crisis Group) dalam diskusi di Gedung DPD, Rabu 20 April 2011 lalu, menyatakan rangkaian aksi ini dilakukan kelompok jihad terpencar, dan kecil. Dia mengatakan, kelompok itu tak ada hubungan dengan organisasi besar jihad seperti JI (Jamaah Islamiyah).
Kelompok kecil, kata Sidney yang intens meneliti evolusi kelompok ini, sekarang jadi trend di kalangan jihadi. Anggotanya sekitar 10 orang. Seperti kelompok Ightiyalat Klaten, anggotanya sekitar sepuluhan anak SMA. Mereka membom markas polisi, gereja, dan masjid pada akhir 2010.
Ada lagi kelompok Cibiru di Bandung. Pendukungnya hanya 6 orang. Mereka melancarkan aksi pembunuhan polisi di Purworejo pada April 2010, serta sempat merencanakan aksi pemboman di Mako Brimob Kelapa Dua. Lalu kelompok seperti kelompok bom Buku, anggotanya antara 10-20 an orang.
Menariknya, antara satu kelompok dengan kelompok lain berbeda, dan tidak berhubungan. Mereka punya agenda perang sendiri-sendiri. Seperti kasus di atas, kelompok Ightiyalat Klaten tak punya hubungan dengan kelompok Cibiru. Hasil pemeriksaan polisi hingga saat ini belum ditemukan hubungan kelompok bom buku dengan bom Cirebon.
Maraknya aksi “individual” ini, menurut terdakwa kasus terorisme di Maluku, Asep Jaja, adalah fenomena jihad fardiyah (jihad individu). “Istilahnya baru, tapi aksinya sudah dipraktekan cukup lama,” ujar Asep. Dia mencontohkan aksi Bom Bali 1. Imam Samudera dan kawan-kawan beraksi tanpa ijin dari Jamaah Islamiyah. Mereka membentuk kelompok belasan orang kemudian beraksi.
Menarik juga menilik literatur kelompok itu. Misalnya, buku yang ditulis oleh Jaisy_554, dan hanya bisa diakses lewat internet. Buku itu berjudul “Jihad Fardiyah, Antara Kewajiban dan Strategi Perang”. Jaisy diduga nama samaran seorang tokoh jihad fardiyah Indonesia.
Menurutnya banyak orang lupa jihad bisa dilakukan segelintir orang, bahkan sendirian. “Kita seakan-akan lupa bahwasanya amaliyah jihad di fase jihad difa’i (fardhu’ain) itu boleh dan bisa dilakukan seorang diri saja, dan ini sah dilakukan, bisa dalam bentuk personal assasination atau operasi ightiyal terhadap Target Individu Musuh, atau Aksi Istisyhad yang semua persiapannya dilakukan seorang diri,” demikian tulisnya.
Tapi sebetulnya, jihad fardiyah itu digagas oleh Abu Musab Al Suri, tokoh jihad dari Suriah. Dia mengarang buku setebal 1600an halaman berjudul Da'wah Al Muqawwammah Al Islamiyyah Al Alamiyyah. Di buku itu, dia mengatakan gerakan jihad berjamah sudah ketinggalan zaman, bahkan katanya “gagal total.”
Kelemahan jihad jamaah, kata Al Suri, jika dipukul musuh bisa merusak organisasi. Misalnya penangkapan aktivis, atau tokoh akan merembet dengan penangkapan tokoh lainnya. Akibatnya, organisasi bisa lumpuh.
Itu sebabnya, Abu Musab As Suri menawarkan alternatif jihad fardiyah, yang dianggap lebih “aman”. Bila musuh berhasil memukul sel jihad, maka yang rusak hanya sel itu saja. Anggota sel yang selamat, juga mudah membuat sel jihad baru.
Gagasan jihad fardiyah Abu Musab Al Suri inilah yang menjadi trend baru di kalangan jihadi di Indonesia. Kenapa? Apa yang dianalisis oleh Al Suri itu mirip terjadi di Indonesia. Pasca Bom Bali 2 terjadi penangkapan para tokoh JI, yang mengakibatkan JI lumpuh.
Hal serupa terjadi pada JAT (Jamaah Ansarut Tauhid). Gara-gara JAT terlibat aksi pelatihan militer di Aceh pada 2010, para pentolannya termasuk Abu Bakar Ba'asyir ditangkap. Dampaknya, JAT pun menjadi lemah. Hal serupa terjadi pada jamaah Tauhid wal Jihad. Setelah tokohnya Aman Abdurrahman ditangkap bersama sebagian pengikutnya pada 2010 karena kasus Aceh, kelompok ini juga lumpuh.
Sebaliknya, jika kelompok jihad fardiyah dipukul, mereka tetap bisa recovery dengan cepat. Kelompok Noordin M. Top boleh disebut memakai strategi jihad fardiyah ini. Noordin kerap sukses membuat sel jihad baru, meskipun berkali-kali disikat polisi.
Kelompok jihad fardiyah juga membangun struktur organisasi yang berbeda dari struktur jamaah jihad. Sebuah jamaah besar jihad, seperti Jamaah Islamiyah, biasanya punya struktur bertingkat, gemuk dan birokratis.
Sumber VIVAnews yang dekat lingkaran aktivis jihad itu mengatakan kelompok jihad fardiyah biasanya hanya punya struktur sebanding sel jihad, bahkan bisa lebih kecil lagi. “Mereka biasa menyebut sel jihad ini sebagai thoifah muqotilah (kelompok kecil pembunuh),” ujar sumber yang menolak disebut namanya itu.
Unit kecil itu, kata dia, dipimpin seorang qiyadah (pimpinan) dan wakilnya. Salah satu tugasnya mengatur strategi serangan, dan menentukan target. Qiyadah ini biasanya membawahi tiga sel: sel pengumpul data, sel perlengkapan, dan sel eksekutor. Anggota tiap sel berjumlah 2-4 orang. Total anggota thoifah bersama pimpinannya 8-14 orang. Hubungan satu satu sel dengan lainnya dibuat terputus.
Dengan struktur seperti ini para penganjur jihad fardiyah percaya keamanan gerakan mereka bisa lebih terjaga.
Selain itu, program jihad fardiyah itu juga didukung lewat "open source" jihad. Mereka berbagi pengalaman. Modul pelatihan militer disebarkan lewat blog, dan forum jihad di internet. Di dunia maya itu, orang bisa belajar banyak hal, dari weapon training, hingga taktik pemboman. Tak hanya itu, juga ada resep ramuan bom sederhana. Misalnya tulisan “Make a Bomb in The Kitchen of Your Mom” yang dimuat di majalah milik Al Qaidah yaitu Inspire No 1 diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Artikel itu menawarkan materi pembuatan bom, sederhana tapi mematikan. Seorang pemula dengan mudah merakitnya dalam satu atau dua hari. Bahan peledaknya juga sederhana, mudah didapat tanpa dicurigai.
Dalam artikel manual itu, misalnya, bahan peledak hanya menggunakan bubuk korek api dicampur gula. Meskipun begitu, bom ini efektif membunuh hingga belasan orang. Pembuatan "open source" jihad ini bertujuan setiap orang yang berniat berjihad bisa mudah belajar. “Tanpa perlu ikut pelatihan militer di Mindanao atau di Afghanistan, mereka bisa belajar bikin bom. Setelah menguasai mereka bisa berjihad sendiri tanpa harus bergabung dengan JI atau JAT,” ujar sumber VIVAnews.
Itulah yang terjadi dengan kelompok Bom Buku dan Bom Serpong. Pimpinannya bernama Pepi disebut adalah mantan wartawan, dan sutradara film dokumenter. Dia melatih kemampuan militernya via internet. “Istilahnya cyber i'dad alias pelatihan militer via internet,” ujar sumber itu menambahkan.
Simak kata Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyad Mbaai, Jumat 22 April 2011 lalu. Dia menyebut Pepi tak pernah belajar ke Mindanao, atau ke Afghanistan. Pepi hanya belajar di internet, lalu mengumpulkan rekannya, dan membuat kelompok jihad fardiyah terdiri dari belasan orang.
Source : Vivanews
Saturday, April 23, 2011
Cara Teroris Meramu BOM
12:14 AM
Anonymous
No comments
0 comments:
Post a Comment