Monday, February 14, 2011

FPI Ingin Gulingkan SBY ..??

FPI-Munarman: Umat Islam Dan Ormas Islam Siap Menggulingkan Pemerintahan SBY apabila
ormas Islam di Bubarkan..!


VIVAnews - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru merilis sebuah instruksi: aparat penegak hukum agar tidak segan-segan membubarkan organisasi masyarakat yang melanggar hukum dan kerap melakukan aksi anarkis. Pernyataan itu dilontarkan Presiden pada peringatan Hari Pers Nasional, 9 Februari 2011 lalu.

Ketika itu, Presiden mengatakan, "Kepada kelompok yang terbukti melanggar hukum, melakukan kekerasan, dan meresahkan masyarakat, kepada para penegak hukum agar dicarikan jalan yang sah dan legal, untuk, jika perlu, membubarkan."


Pernyataan itu mengundang reaksi keras dari Front Pembela Islam (FPI), salah satu organisasi kemasyarakatan yang dikenal militan.

Menanggapi pernyataan SBY itu, Kepala Bidang Advokasi yang sekaligus juga Juru Bicara FPI, Munarman, menegaskan bahwa akar permasalahan bukanlah karena keberadaan ormas melainkan sikap pemerintah terhadap jemaah Ahmadiyah yang melanggar undang-undang.

Tak cukup sampai di situ, Munarman bahkan melontarkan sebuah pernyataan bernada ancaman: jika isu pembubaran terus dihembuskan Presiden, maka umat dan ormas Islam siap mem-Ben Ali-kan SBY. Ben Ali adalah presiden Tunisia yang baru saja digulingkan aksi demonstrasi masal.

Selengkapnya, kepada wartawan VIVAnews.com, Munarman mengirimkan tanggapan melalui SMS sebagai berikut:

"Pernyataan paling tidak bermutu dari seorang presiden, jaka sembung naik ojek, nggak nyambung jek... Masalahnya ada di Ahmadiyah yang melanggar UU, kok ormas yang jadi sasaran... Dia hanya memanipulasi Hari Pers Nasional agar dapat dukungan kalangan pers dan menaikkan kembali ratingnya di lembaga survey yang terus menurun... Kalau dia terus menghembuskan pembubaran ormas, maka umat dan ormas Islam sangat siap untuk mem-Ben Ali-kan SBY... karena ternyata dia lebih memilih berada di pihak yang bathil."

Menurut Munarman, penyerangan sadistis di Cikeusik, Pandeglang--yang menewaskan tiga anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia dan membuat enam lainnya terluka parah--tak lebih merupakan skenario yang dirancang Ahmadiyah sendiri untuk mengkambinghitamkan organisasi massa.

Pernyataan FPI itu ditanggapi serius oleh Presiden SBY. Dalam wawancara dengan stasiun televisi SCTV, Presiden menegaskan, "Tidak semudah itu lantas Indonesia pasti akan menjadi Mesir. Termasuk yang mengancam saya, 'awas Indonesia kita Mesirkan!' Jangan ancam-mengancam lah. Kondisinya berbeda."

Partai Demokrat pun bereaksi keras. "Negara tidak akan tunduk pada ancaman. Silakan polisi mengambil langkah hukum, baik preventif ataupun represif," kata Wakil Sekjen Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, saat dihubungi VIVAnews.com. "Kalau negara tunduk pada ormas, di mana wibawa negara?"

Anggota Komisi I DPR itu mengatakan, bila benar terbukti ada ancaman yang membahayakan negara dan masyarakat seperti tindakan subversif atau makar, maka polisi tidak boleh ragu menegakkan hukum. "Saya harap polisi tidak ragu-ragu. Jika ada perlawanan, polisi bisa minta bantuan kepada TNI, baik sektor teritorial maupun intelijen," ujar Ramadhan.

Menurutnya, apabila ancaman itu dinyatakan di depan publik secara terbuka, maka polisi jelas tidak bisa tinggal diam. Pembantu-pembantu Presiden seperti Kapolri, Menteri Hukum dan HAM, dan Menteri Dalam Negeri juga harus bertindak cepat. "Jangan lemah dan tunduk terhadap ancaman. Ini bukan soal politik, tapi soal keamanan masyarakat," tandas Ramadhan.

Ia menambahkan, pernyataan SBY tentang perlunya pembubaran ormas anarkis, sebetulnya tidak berarti ada ormas tertentu yang serta-merta akan dibubarkan. Ramadhan mengatakan, untuk kepentingan masyarakat, UU memang membolehkan pembubaran ormas yang terus-menerus memproduksi kekerasan dan menciptakan ketidakaturan serta instabilitas. "Tapi untuk sampai ke pembubaran, harus dikaji lebih dalam lagi," tuturnya.

Juru Bicara Kepresidenan, Julian Aldrin Pasha, mengatakan hal senada. Pernyataan Presiden soal kemungkinan pembubaran ormas yang melanggar hukum, hanya dilakukan untuk keadaan yang khusus bila fakta empiris telah tersedia.

"Tidak boleh ada ruang bagi kekerasan di negeri ini, baik itu dilakukan oleh organisasi atau individu. Bila terdapat tindakan yang mengakibatkan munculnya disorder (kekacauan) dan kekerasan, maka di titik itulah pemerintah akan bertindak demi kepentingan masyarakat yang lebih luas. Tapi, tidak dengan serta-merta," jelas Julian.

Ia mengatakan, pembubaran ormas baru akan dilakukan apabila terdapat bukti dan fakta hukum yang telah diverifikasi bahwa ormas terkait memang melakukan tindakan yang melanggar hukum. "Bisa dihentikan atau dibubarkan, tapi harus ada alasannya."

Oleh karena itu, ia meminta ormas manapun untuk tidak merasa dikambinghitamkan dalam peristiwa kekerasan beruntun pekan lalu. "Presiden tidak menunjuk pada satu organisasi, tapi siapapun dan apapun entitasnya," tegasnya lagi.

***

Mengenai pembubaran ormas, pemerintah sebenarnya sudah lama memiliki peraturan organik yang melandasinya, yakni Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa berikut peraturan pemerintahnya. Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa (Kesbang) Kementerian Dalam Negeri, Mayor Jenderal (purn.) Tanri Bali Lamo, menjelaskan kepada VIVAnews.com, bahwa yang dimaksud adalah PP Nomor 18 Tahun 1986.

Tanri mengatakan semua ormas pada dasarnya berada di bawah pembinaan pemerintah. Ormas tingkat nasional dibina oleh Menteri Dalam Negeri, tingkat provinsi oleh Gubernur, kota oleh Walikota, dan kabupaten oleh Bupati. "Kalau ormas mengganggu ketertiban umum, suku, ras, dan sebagainya memang dapat dibubarkan," katanya.

Aturan itu terdapat dalam pasal 18 PP tersebut. Namun, pembekuan atau pembubaran tidak bisa serta merta dilakukan. Tahap pertama, jika terjadi syarat untuk pembekuan atau pembubaran, Pemerintah mengeluarkan teguran dulu yang berlaku sampai 10 hari.

"Kalau masih tidak memperbaiki diri, nanti diberi teguran kedua yang juga 10 hari berlaku," katanya. "Kalau tidak berubah juga, dibekukan,"

Pembekuan itu juga harus didasarkan pada saran dari pihak terkait. Mendagri dalam hal ini harus meminta pendapat Mahkamah Agung terlebih dahulu.

0 comments:

Post a Comment